Translator Gw.....

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Blog Archive

HIV/AIDS Di Indonesia

Minggu, 22 Agustus 2010

Pemahaman terhadap HIV/AIDS
Baru Sebatas ”Momok” Sosial



YOGYAKARTA – Rosa (23), bukan nama sebenarnya, menantang sejumlah wartawan yang datang ke Pusat Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yogyakarta, Selasa (30/7), untuk main tebak-tebakan. ”Siapa di antara kami berdua yang terkena HIV positif?” tanyanya sambil ujung jari menunjuk dadanya dan menuding Iwan (27), nama samaran, lelaki yang duduk di sebelahnya. Terus terang, tebakan ini tak mudah. Pemuda dan pemudi keturunan Tionghoa ini memiliki ciri fisik yang sama seperti orang sehat, bahkan lebih energik dibanding sejumlah wartawan yang hadir malam itu.

Karena hanya ada dua pilihan yang diajukan Rosa, maka tebakan yang dilakukan para wartawan lebih dilandasi spekulasi. Dan Rosa tertawa kegelian saat jumlah wartawan yang memilih Iwan jauh lebih banyak. ”Gue yang HIV positif,” ujar Rosa memberi jawaban terhadap teka-teki itu. Rosa tak mau menyebut asal-muasal ia bisa terkena virus HIV. Ia hanya menyebut bahwa diagnosis HIV positif itu muncul dua tahun lalu. ”Dunia seakan runtuh saat mendengar hal itu,” ujar gadis berkulit putih yang menetap di Jakarta ini.
Namun Rosa adalah sedikit dari Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang beruntung. Pascapemberitahuan itu, orang tua Rosa tetap bisa menerimanya, bahkan memberi dukungan cukup besar untuk membuatnya bertahan hidup. Menariknya, orang tua Rosa bahkan membentuk kelompok atau semacam paguyuban orang tua dari anak-anak yang dinyatakan positif tertular virus HIV. ”Paguyuban ini dibuat untuk menguatkan sesama orang tua yang anaknya positif tertular HIV dan untuk mengatakan bahwa mereka tidak sendiri,” ujar Rosa yang bekerja sebagai tenaga accounting di sebuah perusahaan di Jakarta.
”Keberuntungan” lain yang diterima Rosa adalah ”pinangan” yang diajukan Iwan meski lelaki itu tahu bahwa Rosa positif tertular HIV. ”Ada yang tak bisa dijelaskan mengapa saya lebih memilih Rosa dibanding perempuan lain yang jelas tak tertular HIV,” ujar Iwan. Aktivitasnya dalam menangani para penderita HIV/AIDS membuat Iwan memiliki perspektif lebih luas tentang penyakit HIV. Bahkan ia ”berani” memutuskan untuk jatuh cinta dan berencana menikah dengan penderita HIV/AIDS itu sendiri.
Iwan juga mengaku tak takut tertular jika jadi menikah dengan Rosa dan bermaksud punya anak. ”Kami sudah membicarakan kehidupan berkeluarga macam apa yang akan kami bangun,” ungkap Iwan. Bahkan Rosa juga menyatakan keinginannya untuk punya anak dari perkawinannya dengan Iwan. ”Penderita HIV lain juga bisa punya anak dan anaknya tetap tak tertular, jadi mengapa saya tidak,” ujar Rosa.

Mitos
Sayangnya tak semua ODHA seberuntung Rosa. Sri (23), bukan nama sebenarnya, mengaku belum berani mengungkap kepada keluarga maupun kawan dekat bahwa dirinya tertular HIV positif. ”Kawan saya yang positif tertular HIV dimusuhi oleh orang-orang kampungnya. Bahkan sejumlah tetangga buru-buru masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dan jendela begitu ia terlihat keluar rumah,” ujar perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini.
Sikap negatif yang diterima kawan Sri terjadi karena berkembang mitos bahwa HIV/AIDS dapat menular hanya dengan berdekatan dengan ODHA. Jangankan bersentuhan, berpapasan saja sudah menimbulkan kecemasan. Belum lagi mitos bahwa penyakit ini merupakan kutukan dari Tuhan dan terjadi pada orang-orang yang telah berbuat maksiat dan melanggar kodrat. Orientasi seksual yang keluar dari mainstream, seperti homoseksual, serta aktivitas seks bebas dituding sebagai satu-satunya penyebab penyakit tersebut. Sehingga para penderita HIV/AIDS kerap dianggap sebelah mata dan diam-diam banyak orang bersyukur karena Tuhan telah menjatuhkan hukuman setimpal bagi ”para pendosa”.
Tudingan ini sebenarnya terbantah dengan banyaknya temuan bahwa virus HIV juga bisa menular melalui transfusi darah dan suntikan. Namun agaknya temuan itu tak berarti banyak untuk mengubah mitos yang telanjur berkembang. Sejumlah penelitian menegaskan bahwa perkembangan HIV/AIDS sangat tinggi di negara berkembang dibanding negara maju. Ini terjadi karena masyarakat negara berkembang terus-menerus melakukan penyangkalan bahwa HIV/AIDS tumbuh subur di kawasannya. Anggapan bahwa informasi ini akan mencoreng moral masyarakat setempat dan kekhawatiran industri pariwisata akan hancur dengan informasi ini, membuat antisipasi HIV/AIDS menjadi minim.
Indonesia, salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk cukup besar di dunia, masuk dalam jebakan mitos dan melakukan penyangkalan serupa saat menolak kedatangan Magic Johnson. Pasalnya, pebasket internasional itu telah mengumumkan bahwa ia terkena HIV Positif. Penolakan Indonesia ini tentu saja memancing reaksi dunia. Di tengah kemajuan teknologi informasi yang sedimikian pesat, Indonesia masih terjebak mitos, mirip katak dalam tempurung.
Berkat desakan internasional, Indonesia akhirnya mengizinkan Magic Johnson untuk berkunjung ke Indonesia. Tapi mitos tentang HIV/AIDS pada sebagian masyarakat Indonesia tetap melekat. Akhirnya, orang-orang seperti Sri dan Rosa harus bersembunyi dari ”penglihatan” masyarakat jika tak ingin dituding sebagai pesakitan seperti penderita lepra yang hidup di tahun-tahun awal Masehi.
Padahal menurut dr. Tuti Parwati, spesialis HIV/AIDS dari Yayasan Citra Usadha Indonesia, virus HIV tidak bisa ditularkan hanya dengan berdekatan atau bersalaman dengan penderita. ”Penyakit ini hanya bisa disebarkan melalui darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu,” ujar Tuti.
Namun, perempuan yang juga dosen Fakultas Kedokteran di Universitas Udayana ini menegaskan bahwa tiga hal yang ia sebutkan pertama bisa terjadi penularan jika terjadi hubungan langsung. Artinya, meskipun darah merupakan media penularan tapi tidak bisa terjadi secara langsung.
Anggapan bahwa gigitan nyamuk dapat menularkan virus HIV adalah anggapan yang sama sekali salah. Menurut Tuti, transfusi darah dan suntikan adalah beberapa cara yang bisa melakukan penularan melalui darah.

Fenomena Gunung Es
Menurut data Departemen Kesehatan, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia sampai Juni 2002 mencapai 2950 orang. Dari jumlah tersebut, penderita laki-laki berjumlah 1913 dan perempuan 968. Sementara 143 orang lainnya tidak disebutkan jenis kelaminnya.
Sedangkan menurut faktor risiko, penderita HIV/AIDS dari hubungan seks heteroseksual mencapai 1483 orang, sementara homoseksual 167 orang. Dari faktor transfusi darah, jumlah penderita 3 orang. Transfusi perinatal 15 orang dan yang tak diketahui penyebabnya mencapai 566 orang. Data juga menyebutkan bahwa 1177 penderita HIV/AIDS terdapat di DKI Jakarta, 559 di Papua dan 237 di Jawa Timur.
Namun menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), di sejumlah negara di mana tes HIV belum merata dilakukan karena berbagai sebab —termasuk kecemasan atas penghakiman masyarakat akibat mitos yang berkembang—, maka setiap HIV positif yang terdeteksi berarti di masyarakat ada 100 orang yang sudah terinfeksi HIV tapi belum terdeteksi. Inilah yang dikenal dengan fenomena gunung es, bagian es yang muncul di permukaan air hanyalah sebagian saja dibandingkan bagian es yang terletak di bawah permukaan air.
Salah satu penyebab dari fenomena semacam ini adalah penyangkalan tentang HIV/AIDS dalam masyarakat setempat. India dan Thailand adalah contoh negara berkembang selain Indonesia di mana masyarakatnya menyangkal keberadaan HIV/AIDS. Dan beranggapan bahwa penularan penyakit ini bisa diatasi dengan religiositas. Padahal, seperti dikatakan Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Ashadi Siregar yang giat mengadakan pelatihan mengenai HIV/AIDS kepada wartawan dan kalangan LSM, HIV/AIDS dan agama adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Jadi mengapa mesti menciptakan ”momok” untuk suatu hal yang bisa dijelaskan secara medis?
(SH/fransisca r. susanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

<><><><><><><><><>